MUARAGEMBONG | Bekasihariini.click
Alih-alih menjadi solusi peningkatan sanitasi masyarakat, proyek Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Setempat (SPALD-S) di Desa Pantai Sederhana, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, justru berubah menjadi ajang bancakan. Program aspirasi salah satu anggota DPR RI Fraksi PKB itu diduga dikerjakan asal-asalan, bahkan sarat penyimpangan yang berpotensi menjerat hukum.
Fasilitas yang seharusnya dibangun dengan standar teknis jelas, di lapangan justru disulap menjadi bangunan murahan. Di RT 002/RW 004, Dusun III, Kampung Gaga, pekerjaan yang seharusnya menggunakan biotank, malah hanya dipasang bata merah seadanya—layaknya membuat septic tank biasa.
Seorang penerima manfaat yang meminta identitasnya dirahasiakan mengungkap fakta pahit itu.
“Iya bang, kalau ini mah gak pakai biotank, langsung pakai bata merah, kaya bikin sepiteng biasa aja,” tegasnya kepada awak media, Jumat (19/9/2025).
Lebih ironis, Ketua TPK Kesra Rohimi Anwar yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan proyek, memilih bungkam. Dihubungi via WhatsApp, ia tidak memberikan jawaban seolah-olah menutup telinga dari kegaduhan publik.
Jerat Hukum Mengintai
Praktik asal jadi ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi berpotensi menabrak hukum. Berdasarkan Permendagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, setiap program pembangunan wajib dikelola secara transparan, akuntabel, serta sesuai standar teknis.
Jika terbukti ada pengurangan kualitas dan spesifikasi, maka hal ini dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. Lebih jauh, Pasal 3 UU Tipikor menegaskan, siapa pun yang menyalahgunakan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, diancam pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun, ditambah denda hingga Rp1 miliar.
Dengan demikian, para pengelola proyek SPALD-S di Desa Pantai Sederhana bisa saja berhadapan dengan jeratan korupsi apabila terbukti memainkan anggaran.
Masyarakat Geram, Aparat Ditantang Tegas
Warga menilai lemahnya pengawasan membuat proyek aspirasi dewan hanya jadi lahan bancakan. “Kalau kayak gini, rakyat cuma dijadikan alasan untuk proyek. Untungnya segelintir orang, yang rugi masyarakat,” kata seorang warga dengan nada kecewa.
Kini semua mata tertuju pada pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Apakah mereka berani membongkar praktik busuk ini, atau justru ikut diam, menjadi bagian dari konspirasi pengkhianatan terhadap uang rakyat?
Reporter: Yono
Editor: Karno