JAKARTA – BEKASIHARIINI.CLICK Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) kembali menyoroti besarnya dana yang mengalir ke kantong anggota DPR RI. Berdasarkan catatan mereka, setiap wakil rakyat bisa menerima rata-rata Rp 2,8 miliar per tahun dari gaji, tunjangan, dan pos anggaran lain. Jika dihitung bulanan, nilainya lebih dari Rp 230 juta per orang.
Peneliti FITRA, Bernard Allvitro, mengungkapkan angka tersebut bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2025, yang mencatat alokasi gaji dan tunjangan DPR mencapai lebih dari Rp 1,6 triliun untuk 580 anggota dewan. “Dalam tiga tahun terakhir, alokasi di atas Rp 1 triliun ini terus stabil. Padahal, kondisi keuangan negara sedang tertekan dan rakyat diminta berhemat,” ujarnya, Senin, 25 Agustus 2025.
Ironisnya, di tengah kebijakan efisiensi publik, DPR justru menambah fasilitas berupa tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan per anggota. Dengan total 580 orang, negara harus menggelontorkan sekitar Rp 29 miliar per bulan atau Rp 1,74 triliun selama lima tahun masa jabatan.
Peneliti FITRA lainnya, Siska Baringbing, menjelaskan gaji pokok anggota DPR sebenarnya tidak terlalu besar, setara dengan PNS golongan menengah. Namun, tambahan berbagai tunjangan—mulai dari jabatan, komunikasi intensif, kehormatan, hingga fasilitas listrik, telepon, dan beras—membuat pendapatan bulanan dewan membengkak menjadi Rp 55–66 juta. Itu belum termasuk biaya reses yang nilainya fantastis.
Menurut Siska, setiap anggota DPR berpotensi mengantongi Rp 4,2 miliar per tahun hanya dari pos kegiatan reses. Dalam DIPA 2023–2025, anggaran reses DPR rata-rata mencapai Rp 2,4 triliun. Jika dibagi rata, tiap anggota memperoleh miliaran rupiah untuk kunjungan kerja di dapilnya. Rinciannya: Rp 1,4 miliar untuk kunjungan di luar masa reses, Rp 2,3 miliar untuk kunjungan pada masa reses, Rp 242 juta untuk kunjungan saat reses atau sidang, serta Rp 150 juta untuk rumah aspirasi.
“Dengan fasilitas sebesar ini, mestinya serap aspirasi berjalan maksimal. Namun faktanya, masih banyak UU yang digugat ke Mahkamah Konstitusi, yang menandakan proses legislasi tidak benar-benar mencerminkan kebutuhan rakyat,” tegas Siska.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri pernah memberi catatan soal pertanggungjawaban biaya konsumsi kegiatan DPR yang tidak seragam. Skema pencairan lumpsum dinilai rawan mengurangi akuntabilitas.
Atas kondisi ini, FITRA merekomendasikan Presiden, DPR, dan Kementerian Keuangan meninjau ulang anggaran dewan. “Fasilitas baru yang membebani APBN sebaiknya dihentikan. Skema gaji dan tunjangan harus dikaitkan dengan kinerja serta kedisiplinan anggota DPR. Hilangkan belanja yang boros,” kata Siska.
Ia juga menekankan perlunya standar pertanggungjawaban yang jelas agar anggaran reses benar-benar menyentuh masyarakat. “Dana ini seharusnya jadi jembatan aspirasi rakyat, bukan sekadar formalitas kegiatan dewan.” (TEMPO)


