JAKARTA – BEKASIHARIINI.CLICKÂ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memperdalam penyidikan kasus dugaan korupsi penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI). Hari ini, tiga pejabat Sekretariat Komisi XI DPR RI dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan.
Ketiga pejabat yang dimintai keterangan adalah Ageng Wardoyo (Kepala Subbagian Rapat Sekretariat Komisi XI DPR RI), Anita Handayaniputri (Kepala Bagian Sekretariat Komisi XI DPR RI), dan Sarilan Putri Khairunnisa (Kepala Bagian Sekretariat Komisi XI DPR RI).
“Menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait penyaluran dana PSBI (Program Sosial Bank Indonesia),” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, melalui keterangan tertulisnya.
Selain ketiga pejabat tersebut, KPK juga memeriksa Hery Indratno, Kepala Divisi PSBI â DKom Bank Indonesia, yang turut hadir dalam pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK.
Dana CSR Diduga Mengalir ke Anggota Dewan Melalui Yayasan Fiktif
Sebelumnya, dua anggota Komisi XI DPR RI periode 2019â2024, yakni Satori dari Fraksi NasDem dan Heri Gunawan alias Hergun dari Fraksi Gerindra, diduga terlibat dalam kasus ini. Keduanya telah diperiksa oleh KPK pada Jumat (27/12/2024), namun status mereka masih sebagai saksi karena penyidik masih terus mendalami alat bukti.
KPK menduga kuat adanya praktik suap dalam penyaluran dana CSR BI yang diduga mengalir ke kantong pribadi para anggota DPR tersebut. Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan modus operandi yang ditemukan.
“Jadi begini, BI memiliki CSR. Tapi, CSR itu tidak langsung kepada orang, kepada person. CSR itu harus melalui yayasan,” kata Asep kepada awak media di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, pada Jumat (21/2/2025).
Asep menerangkan, karena dana CSR tersebut dialokasikan untuk Komisi XI DPR, Satori dan Hergun diduga mendirikan yayasan-yayasan sebagai perantara. Yayasan-yayasan ini terafiliasi dengan oknum anggota DPR, termasuk kerabat dan keluarga dari Satori maupun Hergun, untuk menampung aliran dana.
“Jadi setiap orang, karena ini juga memang diberikan kepada Komisi XI, di mana Saudara S ini ada di situ, ini masih termasuk juga Saudara HG ya, itu yayasannya, jadi membuat yayasan. Kemudian melalui yayasan tersebutlah uang-uang tersebut dialirkan,” jelas Asep.
Setelah dana CSR dicairkan ke rekening yayasan, uang tersebut kemudian ditransfer kembali ke rekening pribadi anggota dewan atau kerabat mereka melalui modus nominee. Dana hasil korupsi tersebut diduga digunakan untuk kepentingan pribadi, termasuk pembelian aset properti.
“Yang kami temukan, yang penyidik temukan selama ini adalah, ketika uang tersebut masuk ke yayasan, ke rekening yayasan, kemudian uang tersebut ditransfer balik ke rekening pribadinya, ada yang masuk ke rekening saudaranya, ada ke rekening orang yang memang nomineenya mewakili dia,” ungkap Asep.
Untuk menutupi jejak aliran dana, pihak yayasan diduga membuat laporan fiktif seolah-olah seluruh dana CSR telah digunakan untuk kegiatan sosial, sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Bank Indonesia. Meski demikian, ada sebagian kecil dana yang memang digunakan untuk kegiatan sosial sebagai “kamuflase” dalam laporan pertanggungjawaban.
“Tidak keseluruhannya tapi, tetap ada kegiatan sosialnya, ada, tapi itu hanya digunakan untuk kamuflase untuk laporan. Jadi dari 10 misalkan, 10 bikin rumah dikerjakan misalkan 3. Nah itu digunakan untuk laporan. Jadi tetap karena BI juga menerima meminta laporan,” pungkas Asep.
KPK terus mendalami kasus ini untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat dan mengembalikan kerugian negara. (red)


